Malas dalam beribadah. Tentu dirikita seringkali
diliputi rasa malas. Terutama dalam hal beribadah. Contoh yang sering ditemui
yakni saat rasa malas masih saja menjadi penghalang diri kita melangkahkan kaki
ke masjid walau jarak rumah kita hanya 10 langkah menuju masjid. Mengapa
demikian? Rasa malas sesungguhnya timbul akibat kita meremehkan suatu hal. Sama
halnya dengan beribadah. Karena kita menganggap remeh perintah Allah SWT maka munculah rasa malas kita dalam
melaksanakan kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Dalam hal ini kita menganggap
remeh perintah shalat berjamaah di masjid, yang akhirnya menjadikan kita malas.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ
يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا
وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَأَجِبْ
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku
ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan
kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat
(azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut
(hadiri jamaah shalat” (HR. Muslim no. 653)
Dari hadist tersebut dapat kita
lihat bahsawanya orang buta yang tidak memiliki penuntun tetap diperintahkan
untuk shalat berjamaah di Masjid, lalu bagaimanakah dengan kita yang masih
sanggup melihat dengan jelas dan dengan jarak rumah yang hanya 10 langkah
hingga sampai ke masjid?
Tak hanya malas
melaksanakan shalat dimasjid, bahkan melaksanakan shalat di rumah pun kita
masih saja malas. Mengapa demikian? Sebab walau adzan telah terdengar, kita
menganggap remeh perintah shalat sehingga akhirnya kita malas dan
melalaikannya. Padahal shalat adalah amal yang pertamakali dihisab kelak dihari
Kiamat.
Dari Abu Hurairah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ
عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ
فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ
بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى
ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ
الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya
amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya.
Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan.
Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang
dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada
hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan
menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti
itu”
Rasa malas dalam beribadah timbul
karena kita tidak menyadari keberadaan kita umat manusia yang hanya sementara
di dunia. Lantas bekal apakah yang akan kita bawa saat tiba ajal kita nanti?
Mereka yang sadar bahwasannya hidup didunia hanyalah sementara, tidak akan
menyia-nyiakan waktu nya untuk menuruti rasa malas. Dalam beribadah, ia akan
sungguh-sungguh. Saat melaksanakan shalat, ia akan bersungguh-sungguh
seolah-olah ia melaksanakan shalat di hari terakhirnya. Sehingga rasa malas pun
tidak akan sanggup mengalahkan kesungguhannya seolah-olah tidak akan ada lagi
shalat setelahnya.
Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ قَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ
مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ
عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata: “Ya Rasulullah. Berilah aku nasehat yang ringkas.” Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Kalau
Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak
meninggalkan (dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu
akan meminta udzur karena ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap
apa yang ditangan orang lain
Bahwasanya rasa malas juga dapat
timbul karena kesombongan yang ada pada diri kita. contohnya, seorang siswa
yang sombong dengan merasa dirinya sudah pintar maka ia menjadi malas belajar.
Sama halnya, dengan seorang hamba yang merasa sombong dihadapan Allah SWT
merasa bahwa ia cukup hebat dan berhasil di dunia ini tanpa bantuan-Nya.
Ketahuilah bahwasannya rasa sombong hanya akan membawa kerugian pada diri
sendiri, terlebih lagi sikap sombong terhadap Allah. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya lah yang
membutuhkan Allah SWT, bukan sebaliknya.
Allah
SWT berfirman :“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di
muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika
melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka
melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya,
tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang
demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu
lalai dari padanya.” (Q.S Al-A’raf :146)
Jangan biarkan rasa malas
mengalahkan kesungguhan kita dalam beribadah. Rasa malas hanya membawa kerugian
pada dirikita sendiri. Kerugian yang tak nampak dari rasa malas yakni waktu
yang kita sia-siakan selama di dunia ini. Jangan sampai kita menjadi
orang-orang yang menyesal kelak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda “Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi
Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia
gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana
ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari
yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi, Lihat Ash-Shahihah no. 946)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar